
" Jangan Bu! " Alvi meronta
" Apa yang kau katakan Alvi? " teriak ibunya
" Masih ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan kita dan keluarga ibu! " terisak hebat
" Sudahlah kau takkan mengerti! " Apa kau mau mengandalkan bapakmu itu? "
" TIDAK KAN. . . . . "
Alvi terdiam dan merekam detik demi detik perkataan yang dikatakan ibunya. Tanpa sengaja suatu saat di tengah malam, Alvi ingin pergi ke kamar kecil. Ia melewati meja makan yang berdekatan dengan dapur. Alvi samar – samar mendengar suara ibunya menangis, suarab itu berasal dari kamar ibu, pasti ibu sedang bersama Tante Tiar, batin Alvi. Hal itu membuat Alvi penasaran dan segera ingin mengetahui, apa yang tengah terjadi dengan ibunya. Tanpa menimbulkan suara sekecil apapun Alvi mulai melangkah kecil mengendap – endap dengan langkah berjingkat. Tiba di depan kamar ibu dan Tante Tiar, Alvi mulai mengintip lalu menguping pembicaraan lewat celah pintu dengan ekspresi serius dan tenang.
“ Aku sudah memikirkan hal ini matang – matang. “ suara ibu lirih.
“ Ya mbak, sudah. . . . . berhentilah menangis
“ Aku harus menjual harga diriku sendiri Tiar kepada para hidung belang itu
“ Apa lagi yang bisa kita andalkan dari kampung miskin ini? “ penuh amarah
“ Tapi kita harus mantap dan berani ambil resiko terhadap pekerjaan ini. “ tegas Tiar
“ Memang, hanya ini yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup. “
Ibu Alvi berusaha tegar dan memberikan kesan wajah pendosa yang menapaki dunia malam.
Dari kejauhan Alvi menatap ibunya sedang meringkuk, lemah menangis getir dipelukan Tante Tiar. Sekali lagi dilumatnya dalam – dalam apa yang ia lihat barusan. Tangan lembut Alvi melakukan sedikit gerakan kecil menutup mulutnya rapat, menghalangi dirinya bersuara. Tetesan kecil yang kian detik semakin tampak jelas memberi arti kepedihan mendalam. “ YA” . . . . . Alvi menangis. Kepalanya terasa mau pecah, terlampau sakit menghujam perasaan hati yang terdalam bahkan lebih dalam lagi. Alvi segera melangkah pergi dan masih tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Alvi memasuki pintu kamarnya yang sedari tadi memang dibiarkan terbuka, lalu ditutupnya rapat – rapat. Alvi berdiri tepat membelakangi pintu, tubuhnya lunglai, lemas dengan uraian air mata kepedihan. Seketika Alvi menjatuhkan tubuhnya ke lantai, ambruk. Ia rapatkan kedua tangannya merengkuh kaki yang kemudian ditekuk tanpa nyawa itu dan membenamkan mukanya ke lutut, ia lelah namun terus melanjutkan tangisan yang kali ini lebih hebat lagi. Meratap menyesali kenyataan yang baru ia lalui. . . . .
Tubuhnya lelah dan SANGAT LELAH . . . . . .
“ Ibu bekerja di pelacuran? “IBU MELACUR “ . . . . .
Alvi sesenggukan, hatinya masih tak percaya. Lama sekali ia menangis di dalam kamar hingga waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Selama itu pikirannya bersambung, melayang ke sana ke mari yang ia pikirkan hanya sesuatu hal buruk dan segalanya sia – sia tak menuai arti. Itu yang hanya bisa Alvi rasakan. Tak sanggup menerima kenyataan yang memang pahit . Tak sedetik pun Alvi berhenti beristigfar. Bertanya – tanya apakah yang sedang terjadi dengan keluarganya. Dalam hatinya ia percaya TUHAN pasti sudah memberikan jalannya, TUHAN MAHA PENGASIH dan PENYAYANG. Tubuhnya kelelahan langkahnya gontai, tanpa tatapan Alvi melangkah ke tempat tidur. Raut mukanya kusut memperlihatkan rasa lelah dan sakit yang amat sangat, ia pun terlelap. Melupakan kenyataan itu untuk sementara waktu hingga pagi menjelang.
Alvi terbangun disaat adzan shubuh mengalun. Raut mukanya lelah dengan mata sembab membengkak seperti kodok. Secepat kilat ia teringat kembali kejadian tadi malam yang menguras peluh dan tenaganya, bukan pekerjaan keras yang membutuhkan banyak tenaga dan pikiran namun yang dikerjakannya hanyalah melihat dan mendengar perbincangan empat antara dua wanita dewasa. Alvi menyingkirkan ingatan – ingatan itu dan berlalu melangkahkan kakinya untuk mengambil air wudhu.
- bersambung -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar