Minggu, 20 Februari 2011

TIDAK PERLU BERSEDIH :(


21 Februari 2011
Ehm................. setiap hari masih kepikiran terus. Sampek2 Insomnia! >.<
Buanyaaakk masalah.
Mulai dari mikirin:
  1. sekolah
  2. Ujian semester genap, Ujian Akhir Sekolah, Ujian Akhir Nasional. Arrrrrrrgggggghhhh................
  3. Belum lagi tryout??
  4. Orang tua
  5. Keluarga
  6. Temen - temen
  7. Pelajaran
  8. Tugas seabreeekk
  9. Cerpen-cerpenku yang terbengkalai
  10. SNMPTN TULIS!
  11. Masalah hati. CINTA?  huhuhuhuhu
Huuuufffftt................ buanyak yang musti aku selesaiin,sampai kapan kayak gini.
Ya ALLAH. . aku nggak tahan, udah nggak kuat. mungkinkah ini cobaan berat dariMu atau Engkau tenngah MURKA??
Dan siapa yang salah dalam semuanya ini???
Siapa yang bisa JAWAB!
AKU TERSESAT!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 19 Februari 2011

Senam Percaya Diri Euuyyy :)

    

SENAM PERCAYA  DIRI, apaan tuh?? Tips ini aku dapat dari temanku Lina dan Klara Sr
Mungkin kamu tersenyum atau katawa ketiwi saat baca artikel ini??? hahahhaha
Cucok boo buat kalian yang lagi ngerasa kurang Pe.de, atau ngga Pe.de sama sekali.

Eeiiittsss, tapi senam Pe.de ini udah aku uji coba loh dan hasilnya LUAR BIASA ngefek. :)
Coba lakukan senam Pe.de secara rutin, Insyaallah rasa pede itu akan terbangun dan terpelihara.
Ayeyyeeeee. . . . . . . . Silakan mencoba!
  1. Jalan di tempat, lakukan pemanasan secara umum untuk semua bagian tubuh (kepala, pundak, tangan dan kaki)
  2. Berdiri tegak, letakkan kedua tangan di pinggang dengan ibu jari menghadap ke belakang.
  3. Pandangan lurus ke depan.
  4. Tarik napas dalam-dalam selama 8-10 detik, sambil membayangkan energi alam masuk bersama tarikan napasmu.
  5. Saat menarik napas, tarik kedua siku ke belakang sejauh mungkin.
  6. Dongakkan kepala perlahan-lahan ke atas, lalu busungkan dada dan tarik bahu ke belakang.
  7. Tahan napasmu selama 30 detik (kalau bisa? ahihihi), bayangkan energi + dan alam menyatu terserap tubuh.
  8. Hembuskan napas perlahan dalam waktu 10 detik, sambil bayangkan perasaan rendah diri dan sifat burukmu keluar bersama energi itu.
  9. Bersamaan dengan hembusan napas, luruskan tangan ke depan sejajar bahu dan kepalkan tangan makin lama makin kuat ( kepalamn tangan menghadap ke bawah)
  10. Pertahankan sikap tubuh yang demikian sampai semua udara keluar dari paru-paru. Kendurkan otot perlahan-lahan dan kembali ke sikap no 2 dan seterusnya. 

19 Februari Kelabu


Terlalu Sadis Caramu
Menjadikan Diriku
Pelampiasan Cintamu
Agar Dia Kembali Padamu
Tanpa Perduli Sakitnya Aku
............................................................................
Semoga Tuhan Membalas Semua Yang Terjadi
Kepadaku Suatu Saat Nanti
..............................
:((
Dan akhirnya kini aku mengerti apa yang ada dipikiranmu selama ini. Kau hanya ingin permainkan perasaanku.
Taukah kau teman aku masih berbaik sangka padamu. Meskipun aku tak menyukaimu, dan caramu sungguh salah.
Why do you hurt me??? :(
Kesan pertama yang ku tangkap kau berperangai buruk.
Ingatlah TUHAN tahu, TUHAN menunggu!




Kamis, 10 Februari 2011

Bukan Kisah Romeo Juliet


Juliet mengklik menu logout pada icon facebooknya. Ia mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. Baru saja ia meremove Romeo dari akun fb miliknya. Sebulan yang lalu mereka menjalin hubungan, ya… mereka pacaran. Mereka berdua adalah teman satu sekolahku di SMA Harapan namun kami berbeda kelas. Juliet adalah sahabat baikku, dia cantik, sopan, dan agak pendiam. Sifat pendiam itulah yang membuat banyak teman sekelasku tertarik padanya. Misterius, begitu kesan mereka.



“Adish…. nitip salam buat Juliet ya!”cetus Adi
“Enak aja loe, Juliet itu sukanya sama gue tahu” timpal Robin tak mau kalah
“Aduh…, please deh kalian berdua!”
“Juliet kan punya Romeo!”
“Gue nggak peduli, selama janur kuning belum melengkung!”
“Setuju Rob! Kita tetap berjuang!”
Adi, Robin dan beberapa teman sekelasku yang tentunya tertarik kepada Juliet masih beradu pendapat. Berkerumun, menyodorkan surat beramplop merah jambu, bunga, kado dan beberapa cokelat untuk menyogokku. “Aduh beruntung banget loe Juliet, sementara gue di sini jadi mak-mak comblang. Apa kata dunia?”
***
Hari itu agak mendung, bel pulang sekolah berbunyi panjang seperti biasa, aku menunggu Juliet di bangku taman depan kelasku XII IPA 4. Ku keluarkan sebuah novel berjudul “Autumn in Paris” karya Lena Tan, yang baru saja ku pinjam dari perpustakaan sekolah. Lembar per lembar mulai kubaca dengan ekspresi seadanya, namun hal itu tidak bertahan lama. Ada yang mengganggu konsentrasiku. “Oh My God …. Adit!” batinku. Dia tengah berjalan menyusuri koridor kelas dan sebentar lagi melewatiku. Aku terpaku memperhatikan sosoknya dalam-dalam. Dari ujung kaki hingga kepala kuperhatikan seksama. Adit cowok yang belakangan ini mengacaukan pikiranku, membuat hatiku cenat-cenut dan mengharuskanku untuk selalu menunggu. Menunggu balasan sms darinya, satu sms saja bisa membuatku bersemangat sepanjang hari dan gilaaaaaa.
“Hei, bengong aja loe?” seseorang menepuk pundakku dari arah samping
“Aaaa…. anuuu… Gue lagi nungguin Juliet” jawabku gagu. Tak kusadari Adit sudah duduk di sebelahku, tersenyum melihat tingkahku. Lalu mencubit lembut pipiku, membuatku mati sejenak. Lunglai. Aku mengenal Adit dari Juliet, mereka berdua satu kelas di XII IPA 2. Lama kami bercanda dan tertawa lepas hingga Juliet datang bersama Romeo. Kami saling menyapa.
“Hai Juliet, hai Romeo!” aku dan Adit kompak menyapa mereka berdua tanpa komando. Mereka berdua pun tersenyum membalas “say hi” dari kami.
“Gila kalian berdua”so romantic” godaku
“Romeo dan Juliet” Adit menambahi dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
“Adish dan Adit” jawab mereka balik menggoda
“Bisa aja loe!” kita hanya ngobrol kok
“Gue nungguin loe tahu, Juliet… ayo pulang!”
“Iya…iya …. Adish sayang”
Kami berempat lalu berpisah, sedikit berlari berpayung tas menghindari rinau hujan yang tiba-tiba turun. Menuju halte. Selama menunggu angkot, aku masih teringat senyum terakhir Adit yang sedikit dipaksakan. Ehm…. mungkin dia berpikir mengenai kisah cinta Romeo dan Juliet yang terkenal itu. Berakhir dengan sebuah kematian akibat meminum racun, menguji kesetiaan cinta. Sungguh tragis, dan dia tidak berharap kisah itu juga menimpa Romeo dan Juliet teman kami. Tiba-tiba Juliet mengagetkanku seraya berpendapat bahwasanya aku tengah memikirkan Adit. Aku pun tersenyum malu dengan pipi merona. Juliet terus menggodaku hingga akhirnya ku ceritakan tentang perasaan dan ketertarikanku kepada Adit. Adit itu baik, smart, tinggi, ramah, cakep…. blaa…. blaaa…… blaaa………. ku keluarkan 1001 alasan kenapa aku menyukainya.
***
Seminggu berlalu …….
Kulirik jam mungil yang melingkar di tangan kiriku. Warnanya hijau ranum setidaknya menyegarkan mata yang berat menahan kantuk. Seperti saat ini, 2 jam lebih 15 menit belajar matematika dengan rumus-rumus trigonometri yang membuatku agak pusing. Bukan bermaksud untuk menyepelekan pelajaran ini tapi apa daya otak ini tak mampu mencerna, seharusnya di saat ini otak kirikulah yang harus bekerja tapi ternyata otak kananku lebih unggul dan menyalahi aturan. Ku mulai menggoreskan pensil, bukan untuk mengerjakan soal latihan melainkan menggambar iseng siluet subuh wanita tengah menulis pada white board. Berkembang menjadi sketsa hitam putih dengan rambut kriwul ala Giring Nidji. Yaahh… aku menggambar guruku dan hasilnya pun sama persis, komentar temanku cekikikan. Setelah kutunjukkan kepada mereka.
“Ada apa ini?” Bu Giring (bukan nama sebenarnya) menoleh ke belakang menatap tajam.
“….#1@**??”
Beberapa anak yang mengetahui kejadian sebenarnya mengeluarkan suara-suara tidak jelas.
“Gila loe Dish” Robin memiringkan telunjuk tepat dikeningnya
“Weeek”! aku hanya menjulurkan lidah tanda kepuasan atas kejahilanku, tak lupa aku memberi judul pada gambar itu
Masalah 1
Trigonometri
Bel istirahat berbunyi, aku bergegas meninggalkan kelas menuju perpustakaan. Di sepanjang koridor aku menyapa setiap teman yang sekiranya aku kenal. Sedikit senyuman dan keramahan bisa membuat hidup kita menjadi lebih indah setidaknya di mata orang lain. Aku mempercepat langkah kala menginjak lantai kelas Adit di XII IPA 2 yang bersebelahan dengan perpustakaan, jantungku berdegup kencang dag-dig-dug, dag-dig-dug. Kalian tahu kenapa? Adit dia lagi penyebabnya. Aku lebih memilih pergi ke perpustakaan dari pada mengisi perut ke kantin dengan 1000 lebih murid yang berjubel. Bagiku perpustakaan jauh lebih nyaman. Tiba-tiba, gedubrak….
“Awas hati-hati” seorang meraih tanganku, menopangku agar tidak terjatuh.
“Eng….#?!$$ sorry dit gue ngga ngeliat kalau ada orang”
“Iya ngga apa-apa Adish sayang!”
“Iih kok sayang sih?”
“Juliet biasa manggil loe gitu kan”
“Hahaha..” kami tertawa bersama
Obrolanku dengan Adit berlanjut ke meja baca perpustakaan. “Mimpi apa gue semalem”, batinku. Tak berapa lama mataku menangkap sosok Romeo tengah berjalan bersama seorang cewek. Tapi cewek itu bukan Juliet seperti yang kuduga.
“Cewek itu kan anak kelas X?” kataku lirih
“Oh, mereka?” Romeo dan Juliet udah putus kemarin
“Apa?” kok dia ngga crita sama gue?”
“Belum sempat mungkin”
“Kurang ajar nih cowok, selingkuh di belakang sahabat gue,” aku geram
Lalu kuputuskan menunggu Juliet hingga jam pulang sekolah dengan perasaan tak tenang. Membayangkan bagaimana perasaan Juliet. Sebagai sahabat tentunya aku harus selalu di sampingnya, mendukungnya. Akhirnya aku menemui Juliet dan membawanya ke bangku taman tepat di depan kelasku. Belum aku berkata sepatah pun, ia menangis di pundakku. Aku mengelus lembut rambutnya. “Everything gonna be okay Juliet,” bisikku. Juliet mulai bisa tersenyum saat aku mengeluarkan suara. Kulantunkan kata-kata semau mulutku dengan nada yang sembarang keluar begitu saja.
Hari ini kurasakan
Kau begitu sakiti aku
Apa sebenarnya yang menyita hatimu
Kau perlahan menjauh tak sedekat dulu
Hanya kebohongan
Rasa bersalah
Rasa berdosa
Yang ku ingin hanya satu ucap kejujuran.
Terdengar kami menangis terbahak-bahak, lagu itu begitu lucu saat kunyanyikan.
“Sepertinya aku berbakat menjadi musisi” kataku
“Mungkin?” kami berpelukan tersenyum lalu pulang, dan melupakan masalah dengan Romeo.
***
Tiga hari berlalu setelah Romeo dan Juliet memutuskan hubungan. Tepat di hari ketiga itu, aku bangun seperti biasa dan mendapati diriku demam. Kuputuskan untuk izin beristirahat di rumah. Mama pun mengirimkan surat izin ke sekolah. Drrrrrrttt, hpku bergetar tanda sms masuk 2 new massage dari Juliet dan Adit. Mereka berdua menanyakan keadaanku. Ku ketik pesan yang sama persis untuk keduanya. Aku hanya demam biasa jangan kuatir :), lalu mengirimkannya. Ketika menutup mata, berniat untuk beristirahat dan menghilangkan sedikit rasa pusing. Hpku lagi-lagi bergetar, mungkin sms dari Juliet atau Adit membalas smsku. Tapi bukan, sms dari Robin yang isinya “Hei Dish… coba deh loe lihat di facebook”
“Ada apa sih?” ok, masih loading nih hp.” balasku
Aku perhatikan detail status terbaru, terpopuler, kotak masuk, profilku Adish Adelia, hingga pemberitahuan. Sudah menjadi kebiasaan Robin menyebarkan sms jika ada sesuatu yang heboh di facebook. Akhirnya mataku menemukannya status terbaru dari Juli Juliet yang berpacaran dengan Adit Sinaga. Aku terbelalak, apa arti semua ini? Juliet tahu aku menyukainya. Senyum Adit yang aneh karena terlihat dipaksanakn. Tak habis kupikir Juliet yang pendiam ternyata… Alamaak…. lagu yang kemarin kunyanyikan untuknya ku rasa lebih mewakili diriku untuk saat ini, pikirku. Teess…. air mataku jatuh. Bukan kisah Romeo dan Juliet batinku. Aku pasrah.

Sabtu, 05 Februari 2011

Alam Bawah Sadar


Alvi sesenggukan, nafasnya kembang kempis. Dia berlutut tepat di bawah kaki ibunya. Ibunya diam dengan menunjukkan raut muka tak peduli. Mereka hanya bertiga di ruangan dengan pencahayaan seadanya, redup. Namun tak seperti ruang keluarga pada umumnya, bagi Alvi keadaannya lebih tepat sebuah penjara yang sempit, menyesakkan dan terasa dingin tak ada setitik kebahagiaan pun menyertainya. Di sampingnya duduk Tante Tiar, adik bungsu dari ibu Alvi. Ia memperhatikan pertengkaran antara seorang anak dan ibunya.
" Jangan Bu! " Alvi meronta
" Apa yang kau katakan Alvi? " teriak ibunya
" Masih ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan kita dan keluarga ibu! " terisak hebat
" Sudahlah kau takkan mengerti! " Apa kau mau mengandalkan bapakmu itu? "
" TIDAK KAN. . . . . "
Alvi terdiam dan merekam detik demi detik perkataan yang dikatakan ibunya. Tanpa sengaja suatu saat di tengah malam, Alvi ingin pergi ke kamar kecil. Ia melewati meja makan yang berdekatan dengan dapur. Alvi samar – samar mendengar suara ibunya menangis, suara itu berasal dari kamar ibu, pasti ibu sedang bersama Tante Tiar, batin Alvi. Hal itu membuat Alvi penasaran dan segera ingin mengetahui, apa yang tengah terjadi dengan ibunya. Tanpa menimbulkan suara sekecil apapun Alvi mulai melangkah kecil mengendap – endap  dengan langkah berjingkat.  Tiba di depan kamar ibu dan Tante Tiar, Alvi mulai mengintip lalu menguping pembicaraan lewat celah pintu dengan ekspresi serius dan tenang.
“ Aku sudah memikirkan hal ini matang – matang. “ suara ibu lirih.
“ Ya mbak, sudah. . . . . berhentilah menangis
“ Aku harus menjual harga diriku sendiri Tiar, kepada para hidung belang itu
“ Apa lagi yang bisa kita andalkan dari kampung miskin ini? “ penuh amarah
“ Tapi kita harus mantap dan berani ambil resiko terhadap pekerjaan ini. “  tegas Tiar
“ Memang, hanya ini yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup. “
Ibu Alvi berusaha tegar dan memberikan kesan wajah pendosa yang menapaki dunia malam.
          Dari kejauhan Alvi menatap ibunya sedang meringkuk, lemah menangis getir dipelukan Tante Tiar. Sekali lagi dilumatnya dalam – dalam apa yang ia lihat barusan. Tangan lembut Alvi melakukan sedikit gerakan kecil menutup mulutnya rapat, menghalangi dirinya bersuara. Tetesan kecil yang kian detik semakin tampak jelas memberi arti kepedihan mendalam. “ YA” . . . . . Alvi menangis. Kepalanya terasa mau pecah, terlampau sakit menghujam perasaan hati yang terdalam bahkan lebih dalam lagi. Alvi segera melangkah pergi dan masih tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Alvi memasuki pintu kamarnya yang sedari tadi memang dibiarkan terbuka, lalu ditutupnya rapat – rapat. Alvi berdiri tepat membelakangi pintu, tubuhnya lunglai, lemas dengan uraian air mata kepedihan. Seketika Alvi menjatuhkan tubuhnya ke lantai, ambruk. Ia rapatkan kedua tangannya merengkuh kaki yang kemudian ditekuk tanpa nyawa itu dan membenamkan mukanya ke lutut, ia lelah namun terus melanjutkan tangisan yang kali ini lebih hebat lagi. Meratap menyesali kenyataan yang baru ia lalui. . . . .
Tubuhnya lelah dan SANGAT LELAH . . . . . .
“ Ibu bekerja di pelacuran? IBU MELACUR “ . . . . .
Alvi berurai air mata, hatinya masih tak percaya. Lama sekali ia menangis di dalam kamar hingga waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Selama itu pikirannya bersambung, melayang ke sana ke mari yang ia pikirkan hanya sesuatu hal buruk dan segalanya sia – sia tak menuai arti. Itu yang hanya bisa Alvi rasakan. Tak  sanggup menerima kenyataan yang memang pahit . Tak sedetik pun Alvi berhenti beristigfar. Bertanya – tanya apakah yang sedang terjadi dengan keluarganya. Dalam hatinya ia percaya TUHAN pasti sudah memberikan jalannya, TUHAN MAHA PENGASIH dan PENYAYANG. Tubuhnya kelelahan langkahnya gontai, tanpa tatapan Alvi melangkah ke tempat tidur. Raut mukanya kusut memperlihatkan rasa lelah dan sakit yang amat sangat, ia pun terlelap. Melupakan kenyataan itu untuk sementara waktu hingga pagi menjelang.
          Alvi terbangun disaat adzan  shubuh mengalun. Raut mukanya lelah dengan mata sembab membengkak seperti kodok. Secepat kilat ia teringat kembali kejadian tadi malam yang menguras peluh dan tenaganya, bukan pekerjaan keras yang membutuhkan banyak tenaga dan pikiran namun yang dikerjakannya hanyalah melihat dan mendengar perbincangan empat antara dua wanita dewasa. Alvi menyingkirkan ingatan – ingatan itu dan berlalu melangkahkan kakinya untuk mengambil air wudhu. Ia rasakan kesejukan  dari setiap butir air yang menyentuh lembut kulitnya. Setidaknya sedikit memberi kesegaran dan nyawa baru pada kekeringan hatinya. Ia dengan kesucian jiwa menghadap Sang Khalik, Sang Pencipta dunia ini. Dengan khusyuk hambamu bersujud.
Langit di luar masih gelap, mendung. Jam usang di sudut kamar menunjuk angka lima. Ya tepat pukul lima pagi. Lama ia di dalam kamar memantapkan hati dan tindakannya. Ia berniat berbicara tentang hal yang tak sengaja diketahuinya tengah malam kelam itu. Satu jam berlalu. Alvi keluar melangkah mantap dengan sorot tajam. Ditemuinya Ibu dan tante Tiar yang tengah duduk di kursi kayu ruang keluarga. Ibu mengupas bumbu dapur sedangkan Tante Tiar memotong kacang panjang menjadi bagian yang lebih kecil.
 “ Ibu, tante. . . . .”
“ Tolong jelaskan semua ini. “ Tutur Alvi dengan nada gemetar dan kaku
“ Ada apa Alvi? Apa maksudmu? “ Jawab Tante Tiar tidak mengerti
Ibu Alvi masih tetap pada pekerjaannya mengupas bawang merah tak memperhatikan.
“ Alvi semalam mendengar percakapan ibu dan tante. “ Dengan mata berkaca – kaca
Kau men-den-gar-nya. . Tante Tiar terbata
Alvi tidak mengerti apa yang ibu dan Tante Tiar lakukan, itu sudah keputusan dan resiko yang mereka ambil. Anggapan bahwa Tuhan bukanlah Maha Pengasih dan Maha Penyayang makin lekat. Ibunya menitikkan air mata. Alvi menganggap yang mereka punyai sekarang hanyalah harga diri. Ia takut akan dosa dan murka TUHAN. Pertengkaran kian hebat. Akibat kemiskinan yang teramat kejam.
Ibu berhenti mengupas bawang merah lalu bangkit meninggalkan mereka berdua. Tak disangka  Alvi meraih tangan. Alvi tersungkur, kepalanya membentur sudut meja yang lancip. Akibat gerakan ibu agar Alvi menyingkir dari kakinya. Alvi kesakitan dengan kepala berdarah.
Alvi terjatuh dari tempat tidur, membentur lantai dengan penuh peluh. Ia mimpi buruk barusan. Wajahnya pucat berurai air mata.
“ Auuggghh. . . .”
“ Astaga, aku hanya bermimpi. “ Batin Alvi
Terdengar sayup – sayup dari kamar tengah, ibunya sedang membaca Al – quran dengan keteguhan jiwa.
“Terima kasih Tuhan, kau masih memberikan kami keteguhan iman. Keterbatasan dan kekurangan tidak pernah dan tidak akan pernah menjauhkan kami dari Engkau.
“ YA RABB. “