Alvi sesenggukan, nafasnya kembang kempis. Dia berlutut tepat di bawah kaki ibunya. Ibunya diam dengan menunjukkan raut muka tak peduli. Mereka hanya bertiga di ruangan dengan pencahayaan seadanya, redup. Namun tak seperti ruang keluarga pada umumnya, bagi Alvi keadaannya lebih tepat sebuah penjara yang sempit, menyesakkan dan terasa dingin tak ada setitik kebahagiaan pun menyertainya. Di sampingnya duduk Tante Tiar, adik bungsu dari ibu Alvi. Ia memperhatikan pertengkaran antara seorang anak dan ibunya.
" Jangan Bu! " Alvi meronta
" Apa yang kau katakan Alvi? " teriak ibunya
" Masih ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan kita dan keluarga ibu! " terisak hebat
" Sudahlah kau takkan mengerti! " Apa kau mau mengandalkan bapakmu itu? "
" TIDAK KAN. . . . . "
Alvi terdiam dan merekam detik demi detik perkataan yang dikatakan ibunya. Tanpa sengaja suatu saat di tengah malam, Alvi ingin pergi ke kamar kecil. Ia melewati meja makan yang berdekatan dengan dapur. Alvi samar – samar mendengar suara ibunya menangis, suara itu berasal dari kamar ibu, pasti ibu sedang bersama Tante Tiar, batin Alvi. Hal itu membuat Alvi penasaran dan segera ingin mengetahui, apa yang tengah terjadi dengan ibunya. Tanpa menimbulkan suara sekecil apapun Alvi mulai melangkah kecil mengendap – endap dengan langkah berjingkat. Tiba di depan kamar ibu dan Tante Tiar, Alvi mulai mengintip lalu menguping pembicaraan lewat celah pintu dengan ekspresi serius dan tenang.
“ Aku sudah memikirkan hal ini matang – matang. “ suara ibu lirih.
“ Ya mbak, sudah. . . . . berhentilah menangis
“ Aku harus menjual harga diriku sendiri Tiar, kepada para hidung belang itu
“ Apa lagi yang bisa kita andalkan dari kampung miskin ini? “ penuh amarah
“ Tapi kita harus mantap dan berani ambil resiko terhadap pekerjaan ini. “ tegas Tiar
“ Memang, hanya ini yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup. “
Ibu Alvi berusaha tegar dan memberikan kesan wajah pendosa yang menapaki dunia malam.
Dari kejauhan Alvi menatap ibunya sedang meringkuk, lemah menangis getir dipelukan Tante Tiar. Sekali lagi dilumatnya dalam – dalam apa yang ia lihat barusan. Tangan lembut Alvi melakukan sedikit gerakan kecil menutup mulutnya rapat, menghalangi dirinya bersuara. Tetesan kecil yang kian detik semakin tampak jelas memberi arti kepedihan mendalam. “ YA” . . . . . Alvi menangis. Kepalanya terasa mau pecah, terlampau sakit menghujam perasaan hati yang terdalam bahkan lebih dalam lagi. Alvi segera melangkah pergi dan masih tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Alvi memasuki pintu kamarnya yang sedari tadi memang dibiarkan terbuka, lalu ditutupnya rapat – rapat. Alvi berdiri tepat membelakangi pintu, tubuhnya lunglai, lemas dengan uraian air mata kepedihan. Seketika Alvi menjatuhkan tubuhnya ke lantai, ambruk. Ia rapatkan kedua tangannya merengkuh kaki yang kemudian ditekuk tanpa nyawa itu dan membenamkan mukanya ke lutut, ia lelah namun terus melanjutkan tangisan yang kali ini lebih hebat lagi. Meratap menyesali kenyataan yang baru ia lalui. . . . .
Tubuhnya lelah dan SANGAT LELAH . . . . . .
“ Ibu bekerja di pelacuran? “IBU MELACUR “ . . . . .
Alvi berurai air mata, hatinya masih tak percaya. Lama sekali ia menangis di dalam kamar hingga waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Selama itu pikirannya bersambung, melayang ke sana ke mari yang ia pikirkan hanya sesuatu hal buruk dan segalanya sia – sia tak menuai arti. Itu yang hanya bisa Alvi rasakan. Tak sanggup menerima kenyataan yang memang pahit . Tak sedetik pun Alvi berhenti beristigfar. Bertanya – tanya apakah yang sedang terjadi dengan keluarganya. Dalam hatinya ia percaya TUHAN pasti sudah memberikan jalannya, TUHAN MAHA PENGASIH dan PENYAYANG. Tubuhnya kelelahan langkahnya gontai, tanpa tatapan Alvi melangkah ke tempat tidur. Raut mukanya kusut memperlihatkan rasa lelah dan sakit yang amat sangat, ia pun terlelap. Melupakan kenyataan itu untuk sementara waktu hingga pagi menjelang.
Alvi terbangun disaat adzan shubuh mengalun. Raut mukanya lelah dengan mata sembab membengkak seperti kodok. Secepat kilat ia teringat kembali kejadian tadi malam yang menguras peluh dan tenaganya, bukan pekerjaan keras yang membutuhkan banyak tenaga dan pikiran namun yang dikerjakannya hanyalah melihat dan mendengar perbincangan empat antara dua wanita dewasa. Alvi menyingkirkan ingatan – ingatan itu dan berlalu melangkahkan kakinya untuk mengambil air wudhu. Ia rasakan kesejukan dari setiap butir air yang menyentuh lembut kulitnya. Setidaknya sedikit memberi kesegaran dan nyawa baru pada kekeringan hatinya. Ia dengan kesucian jiwa menghadap Sang Khalik, Sang Pencipta dunia ini. Dengan khusyuk hambamu bersujud.
Langit di luar masih gelap, mendung. Jam usang di sudut kamar menunjuk angka lima. Ya tepat pukul lima pagi. Lama ia di dalam kamar memantapkan hati dan tindakannya. Ia berniat berbicara tentang hal yang tak sengaja diketahuinya tengah malam kelam itu. Satu jam berlalu. Alvi keluar melangkah mantap dengan sorot tajam. Ditemuinya Ibu dan tante Tiar yang tengah duduk di kursi kayu ruang keluarga. Ibu mengupas bumbu dapur sedangkan Tante Tiar memotong kacang panjang menjadi bagian yang lebih kecil.
“ Ibu, tante. . . . .”
“ Tolong jelaskan semua ini. “ Tutur Alvi dengan nada gemetar dan kaku
“ Ada apa Alvi? Apa maksudmu? “ Jawab Tante Tiar tidak mengerti
Ibu Alvi masih tetap pada pekerjaannya mengupas bawang merah tak memperhatikan.
“ Alvi semalam mendengar percakapan ibu dan tante. “ Dengan mata berkaca – kaca
Kau men-den-gar-nya. . Tante Tiar terbata
Alvi tidak mengerti apa yang ibu dan Tante Tiar lakukan, itu sudah keputusan dan resiko yang mereka ambil. Anggapan bahwa Tuhan bukanlah Maha Pengasih dan Maha Penyayang makin lekat. Ibunya menitikkan air mata. Alvi menganggap yang mereka punyai sekarang hanyalah harga diri. Ia takut akan dosa dan murka TUHAN. Pertengkaran kian hebat. Akibat kemiskinan yang teramat kejam.
Ibu berhenti mengupas bawang merah lalu bangkit meninggalkan mereka berdua. Tak disangka Alvi meraih tangan. Alvi tersungkur, kepalanya membentur sudut meja yang lancip. Akibat gerakan ibu agar Alvi menyingkir dari kakinya. Alvi kesakitan dengan kepala berdarah.
Alvi terjatuh dari tempat tidur, membentur lantai dengan penuh peluh. Ia mimpi buruk barusan. Wajahnya pucat berurai air mata.
“ Auuggghh. . . .”
“ Astaga, aku hanya bermimpi. “ Batin Alvi
Terdengar sayup – sayup dari kamar tengah, ibunya sedang membaca Al – quran dengan keteguhan jiwa.
“Terima kasih Tuhan, kau masih memberikan kami keteguhan iman. Keterbatasan dan kekurangan tidak pernah dan tidak akan pernah menjauhkan kami dari Engkau.
“ YA RABB. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar