Jumat, 30 Desember 2011

Perdagangan Bebas Galau


 
Mengolah kata, membuatku nyaman. Duniaku. Banyak yang harus dilakukan. Chris Garden and Christhoper sudah membuktikan. Mengejar kebahagiaan. Itu yang harus ku lakukan saat ini. Tidak menunggu tapi mencari. Kerja keras. Bukan JAHAT tapi BAIK. TEKANKAN!”
“Bukan lagi BERSAMA tapi MASING-MASING. Bukan lagi KITA tapi AKU. Terlalu lama, membuang waktu. Sia-sia dan percuma. Selalu seperti ini. Lihatlah, sadar dan fokus dengan tujuan pastimu. Aku tahu ini takkan berjalan perlahan. Entahlah. Jalani!
Mungkin hanya aku yang tahu artinya. Maknanya. Itu kata-kata yang mewakili diriku, suasana hatiku, salah satu penyebab label SOK PUITIS yang melekat lengket dalam panggilanku. Adit dan puitisnya. Intermezzo.
Setiawan aditomo begitulah orang tuaku menganugerahiku sebuah nama, yang menurutku luar biasa penuh makna. Setia, diharapkan aku menjadi orang yang setia dan teguh pada pendirianku. Awan membentuk tubuhku gembul dengan sifat serupa kembang gula. Manis dan lembut. Aditomo, entahlah mungkin mewakili diriku yang bijaksana dan nama yang kental untuk mas-mas jawa sepertiku. Adit, kau bisa memanggilku seperti itu. Aku masih sembilan belas tahun, umur yang memang masih muda, bahkan sangat muda. Labil, emosional, plin-plan walau terkadang terlihat tegas, berapi-api, tanpa pikir panjang namun paham arti resiko. Serba sulit bagaimana menjelaskan jati diriku. Sebal aku dibuatnya. Apakah salah jika aku terlalu mahir dalam mengolah kata?
***
Kasat rasa penglihatanku menarawang ke ingatan masa lalu, dengan secarik kertas hijau rapi di tangan. Kini kertas tipis itu menggumpal bulat  tak beraturan hasil remasan kuat tangan kiriku. Masih memikirkan dari tiap deret kata yang tercetak hitam tebal bertuliskan CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia. Lomba karya tulis. Aku  merindu saat-saat itu. Berhasil dan sukses menuangkan apa yang kurasa dalam bongkah tulisan. Aku suka membaca, aku membaca semua tulisan, membaca makna estetika gambar yang kulihat dan memang inderaku begitu sensitif untuk merasakan setiap nafasnya. Koran, majalah, novel, blog, website bahkan raut wajah seseorang pun aku mampu membacanya. Itulah konsekuensi yang harus aku tanggung, aku suka membaca jadi aku harus bisa menulis. Menulis memacuku untuk berimajinasi, yang aku tahu imajinasi tidaklah terbatas seperti ilmu pengetahuan. Aku begitu menikmatnya.
Semua orang terlahir unik. Begitu juga aku dan CAFTA. CAFTA dengan segala pro dan kontranya. Aku begitu menyukai CAFTA. Bukan mendukung asosiasi bilateral itu tapi aku suka sejarahnya, ketika ibu dari ibuku bertutur detail bercerita tentang CAFTA. Hal itu indah bagi ibu dari ibuku alias nenekku. Dari CAFTA ada cinta. Dua hal yang bertolak belakang. Bahkan kalian pun tak mengerti apa yang sekiranya ku maksudkan.
“Apa yang membuat nenek begitu intim dengan CAFTA?” tanyaku menyelidik.
“Yaah, semua karena kakekmu.” Berbinar dan mengatakannya dengan sangat lembut.
“KAKEK???” tanyaku dalam hati. Aku tak pernah tahu sedikitpun mengenai kakek bahkan ibu tak pernah bercerita tentangnya. Selama ini aku merasa ibu dan keluargaku menyimpan, menyembunyikan rapat mengenai rahasia ini. Rahasia? Ataukah memang sebuah rahasia. Aku berpikir keras namun tak ku temukan jawaban. Aku tak bisa menulis tanpa tahu betul seluk beluk dari hal yang akan aku tulis. Aku bukan orang NGAWUR yang asal bicara, menganalisa, lalu menulis semauku. Setidaknya apa yang aku tulis mampu memberi manfaat bagi orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, itu sudah menjadi hal fardhu ain dalam tulisanku.
***
CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia. Pertanian adalah sesuatu yang mahal dan kompleks. Mahal karena proses yang terlampau panjang, mulai dari berfikir untuk memilih benih yang terbaik, calon individu unggul, hingga ia siap untuk menjadi bagian dari masyarakat global. Kompleks berhubungan dengan banyak aspek, kondisi, situasi, sebab akibat, laba rugi, sosial ekonomi, lingkungan, biotik abiotik, bahkan sebuah  mutualisme dan protokooperasi yang merupakan contoh dari simbiosis yang maknanya adalah “Hidup BersamA”. Bagaimanakah suatu pertanian bisa terhubung dengan CAFTA( China Asean Free Trade Area) ? Adakah timbal balik atau pengaruh besar di dalamnya? Aku semakin penasaran, rasa ingin tahuku semakin kuat, aku bertanya? Tak ada jawaban. Aku masih terlalu awam untuk belajar dan mengerti. Paham! Hingga pada akhirnya aku menemukan jawaban dalam sebuah catatan, seperti buku akuntasi yang serba tebal dengan garis-garis horizontal dan hanya tersisa tiga halaman. Tipis. Sangat tipis. Usang hitam, dengan sampul bekas terbakar atau memang sengaja dibakar. Entahlah.
Halaman 1.........
4 Nopember 2002, pemerintah Republik Indonesia bersama negara ASEAN menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China. Melalui perjanjian China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) ini, maka ASEAN mulai melakukan pasar bebas di kawasan China-ASEAN.  Dan khusus negara ASEAN-6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunai) telah  menerapkan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk berkategori Early Harvest Package.
Sejak 2004, tiap tahun pemerintah Indonesia terus mengurangi besaran/persen bea masuk (BM) produk impor dari China. Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), sekitar 65% produk impor dari China telah mendapat stempel BM nol persen dari Dirjen Bea & Cukai Departemen Keuangan RI. Dan pada Januari 2010 ini, sebanyak 1598 atau 18% produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%. Dan  sebanyak 83% dari 8738 produk impor China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM sepersenpun pada Januari 2010. Ini berarti pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem pasar bebas  yang seluas-luasnya dengan China.
Beberapa produk yang akan dibebaskan masuk pada 2010 ini (dari sebelumnya 5% pada 2009) adalah pasta dan sikat gigi, sisir dan jepitan rambut dari besi/alumunium, balpoin, pulpen, pensil dorong/putar, bola lampu, kunci, gembok, hingga peralatan dapur yang terbuat dari besi & stainless. Bila produk-produk seperti balpoin, pulpen, pensil atau bola lampu yang pada 2009 masih dikenakan BM 5% sudah menjamur di  Indonesia, bagaimana pada 2010 yang notabene akan bebas masuk alias BM 0% ?
Seperti berita yang disalin ulang dengan pena, keningku mengernyit menyimpulkan tulisan yang selesai ku baca untuk halaman pertama. Tapi bukankah yang menjadi fokusku adalah CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia? Tak ku temukan bau-bau pertanian tercium disana. Menambah pikiran, membuat bingung, dan penat kepalaku. Semakin meningkat rasa penasaranku. Apa yang harus ku tulis dalam cerpenku nanti. Berharap mendapat juara satu. Itu artinya pemenang. Tapi aku PESIMIS. Kerjaku masih nol. Tak bergeser sedikitpun. Tak ku temukan titik cerah juga. Aku mulai bosan untuk menulis mengenai CAFTA. Apa yang harus ku tulis. Tak tahu! Aku beranjak ke halaman berikutnya, kalimat-kalimat terurai panjang mengisyaratkan cara pandang, kritikan, analisa seseorang terhadap CAFTA?
Halaman 2.........
Aku bisa memastikan, jumlah produk China semakin membanjiri  pasar Indonesia. Peningkatan permintaan produk dari China tentu akan menguntungkan China karena secara langsung memperluas lapangan pekerjaan di China, disisi lain industri-industri kecil Indonesia akan mulai berguguran yang pada akhirnya dapat  mengurangi lapangan pekerjaan. Penerapan CAFTA khususnya antara Indonesia-China telah memberi keuntungan yang sangat besar bagi Republik Rakyat China. Maka tidaklah heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan atau temui sehari-hari bertuliskan “MADE IN CHINA“. Meningkatnya produk China yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitif harga. Barang-barang impor dari China relatif  lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal atau NASIONALISME dan KOMPARASI KUALITAS), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk China.
Tahukah kalian? Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan Indonesia adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China. China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih efisien,  ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai. Yang kua tahu berdasarkan laporan The Global Competitiveness Report  2009-2010, efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 133 negara. Sementara Indonesia berada diperingkat 75 jauh dibawah China.
Bolehkah aku sedikit mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil dan  berimbang. Perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara  produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual produk impor.
Oleh karena itu, hendaknya pelaksanaan perdagangan yang bebas didasarkan pada faktor komparatif kualitas (fasilitas dan teknologi), kompetitif dan produk komplementer.  Produk-produk yang sudah mampu diproduksi oleh pengusaha lokal hendaknya diproteksi seraya didorong untuk meningkatkan efisinsi biaya produksi. Sementara kita membuka produk-produk berteknologi tinggi yang dapat kita manfaatkan sebagai faktor mendukung (faktor produksi) industri  yang menggunakan level teknologi dibawahnya. Dan bila berbagai faktor ekonomi produksi tersebut tidak setara, maka akan terjadi dominasi perdagangan. Dalam hal ini, Cina memiliki transfortasi dan fasilitas yang mumpuni, sementara itu Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Akibatnya, produk China akan menguasai Indonesia. Bila ini terjadi, maka Indonesia akan semakin melekat sebagai negara KONSUMEN. Miris. Solusi! Itu yang negara ini butuhkan. Indonesiaku sayang Indonesiaku malang.
***
Aku menyeka keringat, nafasku ngos-ngosan. Tulisan-tulisan itu membuat kepalaku berputar keras. Lebih terasa. Ku tak mengerti. Dhedhel. Gagap. Seperti keledai bodoh.  Tahukah kau bagaimana rasanya seseorang yang mahir menulis. Tapi gagal untuk menyelesaikan tulisannya. Tak ada sesuatu yang spesial dari tulisan itu. Ide tak berkembang. Kronologi yang amburadul dan jalan cerita yang malah menimbulkan banyak pertanyaan. Menyesatkan pembaca. Kau bukan penulis yang baik. Kalimat itu yang akan dilontarkan oleh banyak orang.  Setidaknya cukup untuk melubangi hatimu.
Aku tak menyerah.   Cerpenku mengenai CAFTA ku cicil. Tidakkah kau paham arti pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Berpikir positif. Banyak kata-kata yang ku masukkan dalam pikiranku. Aku tahu TUHAN akan memberi jalan bagi   hambanya yang mau berusaha dan tidak putus asa. Aku ADIT akan menjadi pemenang. Aku seorang AMBISIUS yang menggunakan jalan benar. Tak menghalalkan segala cara untuk mendapat apa yang benar-benar aku inginkan.
Selesai! Cerpen telah ku buat. Aku mengirimnya lewat e-mail ke alamat sang empunya lomba. Pada akhirnya, aku mendapati namaku keluar sebagai pemenang. PEMENANG! PEMENANG! CAFTA! CAFTA! Komat-kamit mulutku melafalkan kata-kata magis itu. Tiba-tiba tubuhku rebah, menggigil, sakit kepala yang begitu hebatnya, aku tak mampu merangkai kata-kata luapan kegembiraan, tanganku kaku, otakku berhenti berpikir, tubuhku serasa ditumpuki oleh kasur. Bukan sebuah kasur tapi kasur lipat sebanyak sepuluh buah. Menindihku. Aku tak mampu bernapas. Sesak. Aku tak layak memenangkan lomba ini, tak ada sinkronasi, jalan ceerita yang buruk, klimaks, anti klimaks, CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia yang menyalahi aturan, tak ada bau hidup pertanian, ceerita tentang kakekku dan CAFTA, kenapa ibu dari ibuku menyukai CAFTA, begitu juga aku yang suka sejarahnya. Sungguh membuat kepalaku seakan pecah. Teriakanku tak ada artinya. Seperti bisu, tak ada suara keluar dari mulutku yang ternganga. Dalam keadaan seperti itu, aku mencari sebuah catatan seperti buku akuntasi yang serba tebal dengan garis-garis horizontal. Usang hitam, dengan sampul bekas terbakar atau memang sengaja dibakar yang sudah ku bilang tadi. Aku membuka dan memaksa tubuh ini yang sudah tersiksa untuk membaca tulisan di lembar terakhir yang masih tersisa. Aku mengenalinya.
Halaman 3...........
Badai sepanjang malam
Malam merayap gelap
Membawa rahasia hidup manusia
Malam merayap gelap
Membawa rahasia hidup manusia
Kadang tangis
Kadang tawa
Membuat hidup kita jadi indah
Kadang tangis
Kadang tawa
Membuat hidup kita jadi indah
Malam merayap Gelap
            Aku terbangun dari tidur siangku. Laptopku memutar lagu badai sepanjang malam. Lagu ost untuk penampilan TEATER SANSESUSKU yang memuncak dengan suara nyaring. Peluh membasahi seluruh tubuhku.
“Astaga aku hanya bermimpi” batinku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar