“Mengolah kata, membuatku nyaman. Duniaku. Banyak yang harus dilakukan. Chris Garden and Christhoper sudah membuktikan. Mengejar kebahagiaan. Itu yang harus ku lakukan saat ini. Tidak menunggu tapi mencari. Kerja keras. Bukan JAHAT tapi BAIK. TEKANKAN!”
“Bukan lagi BERSAMA tapi MASING-MASING. Bukan lagi KITA tapi AKU. Terlalu lama, membuang waktu. Sia-sia dan percuma. Selalu seperti ini. Lihatlah, sadar dan fokus dengan tujuan pastimu. Aku tahu ini takkan berjalan perlahan. Entahlah. Jalani!”
Mungkin hanya aku yang tahu artinya. Maknanya. Itu kata-kata yang mewakili diriku, suasana hatiku, salah satu penyebab label SOK PUITIS yang melekat lengket dalam panggilanku. Adit dan puitisnya. Intermezzo.
Setiawan aditomo begitulah orang tuaku menganugerahiku sebuah nama, yang menurutku luar biasa penuh makna. Setia, diharapkan aku menjadi orang yang setia dan teguh pada pendirianku. Awan membentuk tubuhku gembul dengan sifat serupa kembang gula. Manis dan lembut. Aditomo, entahlah mungkin mewakili diriku yang bijaksana dan nama yang kental untuk mas-mas jawa sepertiku. Adit, kau bisa memanggilku seperti itu. Aku masih sembilan belas tahun, umur yang memang masih muda, bahkan sangat muda. Labil, emosional, plin-plan walau terkadang terlihat tegas, berapi-api, tanpa pikir panjang namun paham arti resiko. Serba sulit bagaimana menjelaskan jati diriku. Sebal aku dibuatnya. Apakah salah jika aku terlalu mahir dalam mengolah kata?
***
Kasat
rasa penglihatanku menarawang ke ingatan masa lalu, dengan secarik kertas hijau
rapi di tangan. Kini kertas tipis itu menggumpal bulat tak beraturan hasil remasan kuat tangan
kiriku. Masih memikirkan dari tiap deret kata yang tercetak hitam tebal
bertuliskan CAFTA dalam perspektif
pembangunan pertanian di Indonesia. Lomba karya tulis. Aku merindu saat-saat itu. Berhasil dan sukses
menuangkan apa yang kurasa dalam bongkah tulisan. Aku suka membaca, aku membaca
semua tulisan, membaca makna estetika gambar yang kulihat dan memang inderaku
begitu sensitif untuk merasakan setiap nafasnya. Koran, majalah, novel, blog,
website bahkan raut wajah seseorang pun aku mampu membacanya. Itulah
konsekuensi yang harus aku tanggung, aku suka membaca jadi aku harus bisa
menulis. Menulis memacuku untuk berimajinasi, yang aku tahu imajinasi tidaklah
terbatas seperti ilmu pengetahuan. Aku begitu menikmatnya.
Semua
orang terlahir unik. Begitu juga aku dan CAFTA. CAFTA dengan segala pro dan
kontranya. Aku begitu menyukai CAFTA. Bukan mendukung asosiasi bilateral itu
tapi aku suka sejarahnya, ketika ibu dari ibuku bertutur detail bercerita
tentang CAFTA. Hal itu indah bagi ibu dari ibuku alias nenekku. Dari CAFTA ada
cinta. Dua hal yang bertolak belakang. Bahkan kalian pun tak mengerti apa yang
sekiranya ku maksudkan.
“Apa yang membuat nenek begitu intim dengan CAFTA?”
tanyaku menyelidik.
“Yaah, semua karena kakekmu.” Berbinar dan
mengatakannya dengan sangat lembut.
“KAKEK???” tanyaku dalam hati. Aku tak pernah tahu
sedikitpun mengenai kakek bahkan ibu tak pernah bercerita tentangnya. Selama
ini aku merasa ibu dan keluargaku menyimpan, menyembunyikan rapat mengenai
rahasia ini. Rahasia? Ataukah memang sebuah rahasia. Aku berpikir keras namun
tak ku temukan jawaban. Aku tak bisa menulis tanpa tahu
betul seluk beluk dari hal yang akan aku tulis. Aku bukan orang NGAWUR yang
asal bicara, menganalisa, lalu menulis semauku. Setidaknya apa yang aku tulis
mampu memberi manfaat bagi orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, itu sudah menjadi hal fardhu ain dalam tulisanku.
***
CAFTA
dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia. Pertanian
adalah sesuatu yang mahal dan kompleks. Mahal karena proses yang terlampau
panjang, mulai dari berfikir untuk memilih benih yang terbaik, calon individu
unggul, hingga ia siap untuk menjadi bagian dari masyarakat global. Kompleks
berhubungan dengan banyak aspek, kondisi, situasi, sebab akibat, laba rugi,
sosial ekonomi, lingkungan, biotik abiotik, bahkan sebuah mutualisme dan protokooperasi yang merupakan
contoh dari simbiosis yang maknanya adalah “Hidup BersamA”. Bagaimanakah
suatu pertanian bisa terhubung dengan CAFTA( China Asean Free Trade Area) ? Adakah timbal balik atau pengaruh besar di
dalamnya? Aku semakin penasaran, rasa ingin tahuku semakin kuat, aku bertanya?
Tak ada jawaban. Aku masih terlalu awam untuk belajar dan mengerti. Paham!
Hingga pada akhirnya aku menemukan jawaban dalam sebuah catatan, seperti buku akuntasi
yang serba tebal dengan garis-garis horizontal dan hanya tersisa tiga halaman.
Tipis. Sangat tipis. Usang hitam, dengan
sampul bekas terbakar atau memang sengaja dibakar.
Entahlah.
Halaman 1.........
4 Nopember 2002, pemerintah Republik Indonesia bersama negara ASEAN
menandatangani Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian
Nations and the People’s Republic of China. Melalui perjanjian China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) ini, maka ASEAN mulai melakukan
pasar bebas di kawasan China-ASEAN. Dan khusus negara ASEAN-6 (Indonesia,
Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunai) telah menerapkan bea
masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk berkategori Early Harvest Package.
Sejak 2004, tiap tahun pemerintah Indonesia terus mengurangi besaran/persen
bea masuk (BM) produk impor dari
China. Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), sekitar 65% produk impor dari
China telah mendapat stempel BM nol persen dari Dirjen Bea & Cukai
Departemen Keuangan RI. Dan pada Januari 2010 ini, sebanyak 1598 atau 18%
produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%. Dan sebanyak 83% dari 8738 produk impor
China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM sepersenpun pada
Januari 2010. Ini berarti pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem
pasar bebas yang seluas-luasnya dengan China.
Beberapa produk yang akan dibebaskan masuk pada 2010 ini (dari sebelumnya 5% pada 2009) adalah
pasta dan sikat gigi, sisir dan jepitan rambut dari besi/alumunium, balpoin,
pulpen, pensil dorong/putar, bola lampu, kunci, gembok, hingga peralatan dapur
yang terbuat dari besi & stainless. Bila produk-produk seperti balpoin,
pulpen, pensil atau bola lampu yang pada 2009 masih dikenakan BM 5% sudah
menjamur di Indonesia, bagaimana pada 2010 yang notabene akan bebas masuk
alias BM 0% ?
Seperti
berita yang disalin ulang dengan pena, keningku mengernyit menyimpulkan tulisan
yang selesai ku baca untuk halaman pertama. Tapi bukankah yang menjadi fokusku
adalah CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di Indonesia? Tak ku temukan
bau-bau pertanian tercium disana. Menambah pikiran, membuat bingung, dan penat
kepalaku. Semakin meningkat rasa penasaranku. Apa yang harus ku tulis dalam
cerpenku nanti. Berharap mendapat juara satu. Itu artinya pemenang. Tapi aku
PESIMIS. Kerjaku masih nol. Tak bergeser sedikitpun. Tak ku temukan titik cerah
juga. Aku mulai bosan untuk menulis mengenai CAFTA. Apa yang harus ku tulis.
Tak tahu! Aku beranjak ke halaman berikutnya, kalimat-kalimat terurai panjang
mengisyaratkan cara pandang, kritikan, analisa seseorang terhadap CAFTA?
Halaman 2.........
Aku bisa memastikan, jumlah produk China semakin membanjiri pasar
Indonesia. Peningkatan permintaan produk dari China tentu akan menguntungkan
China karena secara langsung memperluas lapangan pekerjaan di China, disisi
lain industri-industri kecil Indonesia akan mulai berguguran yang pada akhirnya
dapat mengurangi lapangan pekerjaan. Penerapan CAFTA khususnya antara
Indonesia-China telah memberi keuntungan yang sangat besar bagi Republik Rakyat
China. Maka tidaklah heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan atau temui
sehari-hari bertuliskan “MADE IN
CHINA“.
Meningkatnya produk China yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor
kompetitif harga. Barang-barang impor dari China relatif lebih murah
dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat
Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal atau NASIONALISME dan KOMPARASI KUALITAS),
maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk China.
Tahukah kalian? Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas
antara China dan Indonesia adalah
tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China.
China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding
Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih
efisien, ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai. Yang kua
tahu berdasarkan laporan The Global Competitiveness
Report 2009-2010, efisiensi
tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 133 negara. Sementara Indonesia
berada diperingkat 75 jauh dibawah China.
Bolehkah aku sedikit mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil
dan berimbang. Perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan
menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur
apabila produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah,
sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan
ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila
seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual
produk impor.
Oleh karena itu, hendaknya pelaksanaan perdagangan yang bebas didasarkan
pada faktor komparatif kualitas (fasilitas dan teknologi), kompetitif dan
produk komplementer. Produk-produk yang sudah mampu diproduksi oleh
pengusaha lokal hendaknya diproteksi seraya didorong untuk meningkatkan
efisinsi biaya produksi. Sementara kita membuka produk-produk berteknologi
tinggi yang dapat kita manfaatkan sebagai faktor mendukung (faktor produksi)
industri yang menggunakan level teknologi dibawahnya. Dan bila berbagai faktor
ekonomi produksi tersebut tidak setara, maka akan terjadi dominasi perdagangan.
Dalam hal ini, Cina memiliki transfortasi dan fasilitas yang mumpuni, sementara
itu Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Akibatnya, produk China akan
menguasai Indonesia. Bila ini terjadi, maka Indonesia akan semakin melekat
sebagai negara KONSUMEN. Miris. Solusi! Itu yang negara ini butuhkan. Indonesiaku sayang
Indonesiaku malang.
***
Aku menyeka
keringat, nafasku ngos-ngosan. Tulisan-tulisan itu membuat kepalaku berputar
keras. Lebih terasa. Ku tak mengerti. Dhedhel.
Gagap. Seperti keledai bodoh. Tahukah
kau bagaimana rasanya seseorang yang mahir menulis. Tapi gagal untuk
menyelesaikan tulisannya. Tak ada sesuatu yang spesial dari tulisan itu. Ide
tak berkembang. Kronologi yang amburadul dan jalan cerita yang malah
menimbulkan banyak pertanyaan. Menyesatkan pembaca. Kau bukan penulis yang
baik. Kalimat itu yang akan dilontarkan oleh banyak orang. Setidaknya cukup untuk melubangi hatimu.
Aku tak
menyerah. Cerpenku mengenai CAFTA ku
cicil. Tidakkah kau paham arti pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi
bukit. Berpikir positif. Banyak kata-kata yang ku masukkan dalam pikiranku. Aku
tahu TUHAN akan memberi jalan bagi
hambanya yang mau berusaha dan tidak putus asa. Aku ADIT akan menjadi
pemenang. Aku seorang AMBISIUS yang menggunakan jalan benar. Tak menghalalkan
segala cara untuk mendapat apa yang benar-benar aku inginkan.
Selesai!
Cerpen telah ku buat. Aku mengirimnya lewat e-mail ke alamat sang empunya
lomba. Pada akhirnya, aku mendapati namaku keluar sebagai pemenang. PEMENANG!
PEMENANG! CAFTA! CAFTA! Komat-kamit mulutku melafalkan kata-kata magis itu.
Tiba-tiba tubuhku rebah, menggigil, sakit kepala yang begitu hebatnya, aku tak
mampu merangkai kata-kata luapan kegembiraan, tanganku kaku, otakku berhenti
berpikir, tubuhku serasa ditumpuki oleh kasur. Bukan sebuah kasur tapi kasur
lipat sebanyak sepuluh buah. Menindihku. Aku tak mampu bernapas. Sesak. Aku tak
layak memenangkan lomba ini, tak ada sinkronasi, jalan ceerita yang buruk,
klimaks, anti klimaks, CAFTA dalam perspektif pembangunan pertanian di
Indonesia yang menyalahi aturan, tak ada bau hidup pertanian, ceerita tentang kakekku
dan CAFTA, kenapa ibu dari ibuku menyukai CAFTA, begitu juga aku yang suka
sejarahnya. Sungguh membuat kepalaku seakan pecah. Teriakanku tak ada artinya.
Seperti bisu, tak ada suara keluar dari mulutku yang ternganga. Dalam keadaan
seperti itu, aku mencari sebuah catatan seperti
buku akuntasi yang serba tebal dengan garis-garis horizontal. Usang hitam, dengan sampul bekas terbakar atau memang sengaja dibakar
yang sudah ku bilang tadi. Aku membuka
dan memaksa tubuh ini yang sudah tersiksa untuk membaca tulisan di lembar terakhir yang masih tersisa. Aku mengenalinya.
Halaman
3...........
Badai sepanjang malam
Malam
merayap gelap
Membawa
rahasia hidup manusia
Malam
merayap gelap
Membawa
rahasia hidup manusia
Kadang
tangis
Kadang
tawa
Membuat
hidup kita jadi indah
Kadang
tangis
Kadang
tawa
Membuat
hidup kita jadi indah
Malam
merayap Gelap
Aku terbangun dari tidur siangku.
Laptopku memutar lagu badai sepanjang malam. Lagu ost untuk penampilan TEATER SANSESUSKU yang memuncak dengan suara
nyaring. Peluh membasahi seluruh tubuhku.
“Astaga
aku hanya bermimpi” batinku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar